Anak tumbuh sehat, cerdas dan bahagia adalah cita-cita, doa dan
harapan setiap orang tua. Berbagai upaya, metode dan strategi ditempuh
untuk memaksimalkan proses tumbuh kembang anak. Namun pada saat yang
sama, terdapat juga berbagai tantangan, kerumitan yang sulit
terantisipansi, bahkan di abad modern ini agaknya mengasuh anak dengan
arif dan baik justru terlihat semakin sulit.
Maukah kita sejenak merenungkan dimanakah titik awal dari anak yang
berbahagia? Mungkinkah syarat utama dari anak yang bahagia, sebenarnya
bermula dari orangtua yang bahagia? Seandainya memang demikian muncul
pertanyaan mengapa tidak meluangkan cukup perhatian pada bagaimana
orangtua dapat berbahagia? Bukankah itu prasyarat agar anak dapat
belajar untuk berbahagia dalam hidupnya?
Terlalu fokus ke anak, diri terbengkalai
Ingatkah
Anda tentang instruksi sebelum pesawat terbang akan lepas landas, yang
menjelaskan prosedur keselamatan bagi mereka yang pergi bersama anak
kecil? Kita senantiasa diingatkan jika masker oksigen turun, kenakan
alat tersebut pada diri sendiri sebelum memasangnya pada anak kecil di
sebelah kita. Relakah kita untuk berhenti sejenak dan menghayati
filosofi di balik anjuran ini?
Bagaimanapun juga, kita tidak bisa bermanfaat bagi orang lain sebelum
menolong diri sendiri. Entah mengapa, prinsip sederhana ini kerap
terabaikan oleh para orangtua yang kerapkali melupakan dirinya dan
keselarasan hidupnya.
Oleh karena itu, saya ingin memulai pembahasan tentang bagaimana
kita, terutama para orangtua, dapat tercuri kebahagiaannya. Mungkin
jika kita siap merunut sejauh ini, maka mungkin kita dapat mencetus
suatu kesadaran baru dalam mengelola tumbuh kembang anak yang lebih
realistis, sederhana dan bijaksana.
Sulitnya mengelola pencuri kebahagiaan
Apabila kita menengok lebih jauh ke dalam kehidupan sehari-hari,
umumnya kita akan menemukan sebuah kata menarik yang jarang kita
renungkan, namun kerap dialami semua orang. Kata tersebut adalah
“Stres”. Kemanakah jari Anda menunjuk, ketika ditanya dimana letaknya
stres bagi Anda? Sebagian orang akan menunjuk ke kepala dan otak,
dimana seringkali muncul berbagai rasa kuatir, pikiran yang enggan
diajak beristirahat, hingga seolah kesibukan roda pikir menjadi
kebanggaan, atau bahkan simbol pembuktian bahwa diri kita produktif dan
sukses. Sebagian orang lain akan menunjuk ke dadanya sebagai perwakilan
dari rasa tidak bahagia yang bermacam-macam jubahnya, baik sedih,
kecewa, frustrasi, marah, kuatir, duka, dan rasa letih.
Menjadi orangtua pun merupakan kondisi hidup yang menggiring kita
untuk menghadapi pasang surutnya stres, terutama dengan sederet target
yang kita pasang bagi anak tercinta, dan semuanya harus dicapai dengan
hasrat kesempurnaan. Sungguh beban yang luar biasa!
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Simonton menunjukkan bahwa
stres bukanlah suatu beban yang muncul akibat peristiwa tertentu yang
terjadi dalam hidup kita, namun beban yang muncul akibat ketidakmampuan
kita untuk menghadapi dan mengelola diri ketika suatu perubahan hidup
terjadi. Jadi stres adalah fenomena tidak adanya ketrampilan untuk
mengelola tubuh, jiwa dan pikiran kita. Ini tentunya menjadi sudut
introspeksi karena seringkali dengan mudah kita menuding kepada pihak
tertentu atau peristiwa tertentu sebagai “penyebab” stres kita, padahal
penyebab sebenarnya ada di ketidaktrampilan kita dalam menata diri.
Makin kita menghayati fenomena stres, semakin juga kita menyadari
bahwa stres bukanlah sekadar fenomena pikiran saja, namun merupakan
pengalaman lahir batin (mind-body experience). Dari titik inilah akan
terbentuk orangtua yang bahagia, hingga anak pun akan memetik
keteladanan untuk berbahagia bagi hidupnya sendiri.
Pendekatan Menyeluruh untuk Mencapai Sehat Sentosa
Tubuh (fisik) dengan pikiran dan jiwa (psikis), merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Sebagian besar dari kita
pernah mengalami atau melihat orang di lingkungan kita tiba-tiba jatuh
sakit setelah mengalami stres yang bertubi-tubi. Kedua hal tersebut
merupakan cermin; apa yang terjadi pada pikiran (jiwa) akan tercermin
dalam tubuh (fisik), dan demikian pula sebaliknya. Dengan kata lain,
hampir semua ketidakselarasan yang dialami manusia memiliki eksistensi
pada fisik dan psikis.
Sehubungan dengan hal tersebut muncul istilah keterkaitan model PNEI (psycho-neuro-endocrino-immuno),
yaitu ketidakselarasan pikiran dan jiwa (psycho) akan mencetuskan
gangguan keseimbangan saraf (neuro), yang selanjutnya akan mengganggu
fungsi hormonal (endocrino) dan akhirnya mempengaruhi daya tahan tubuh
(immuno).
Jangan lupa bahwa anak tidak hanya belajar tentang hal-hal yang
diucapkan oleh orangtua secara verbal, namun juga berdasarkan apa yang
dirasakan oleh orangtuanya, sehingga pola orangtua mengatasi stres pun
menjadi suatu pembelajaran pula bagi anak. Hal tersebut sebenarnya
menggiring kita pada kesadaran baru dalam merawat kesehatan lahir dan
batin, atau apa yang dikenal sebagai kesehatan holistik.
Kesehatan holistik yang perlu disadari bersama
Kesehatan holistik mengandung pengertian sehat tubuh (pola makan,
istirahat dan olahraga yang tepat), sehat pikiran (alam pikiran yang
mampu rileks, tenang, jernih), sehat jiwa (ikhlas, tentram dan pasrah)
dan sehat energi (mengalir dan harmonis). Semua komponen ini saling
melengkapi dan menunjang. Tanpa memelihara kesehatan diri secara
holistik, maka segala hal yang sudah kita lakukan mengatur pola makan,
olahraga, serta anjuran medis lainnya, akan menghasilkan solusi yang
tidak lengkap.
ASI dan stres
Proses menyusui bukanlah semata mata proses antara ibu dan bayi saja.
Seorang ayah dan lingkungan yang mengelilingi ibu sangat menentukan
keberhasilan menyusui. Bahkan proses memberikan ASI itu sendiri memiliki
aspek psikologis dan ruhaniah antara ibu, bayi dan seorang ayah, bukan
sekedar tempel dan biarkan bayi menyusui saja.
Ada beberapa jenis stres yang umum dialami oleh ibu menyusui. Dari
mulai kuatir akan kurangnya kuantitas produksi ASI, atau merasa kualitas
ASInya tidak cukup baik untuk sang bayi, takut bentuk tubuh atau
payudaranya berubah (faktor estetika), stres akibat perubahan pola /
gaya hidup terutama bilamana menyusui anak pertama, takut terjangkit
penyakit selama masa ASI eksklusif 6 bulan, stres karena merasa
pemberian ASI kurang praktis bagi ibu yang bekerja, dan stres dari
kurang tepatnya dukungan suami / sang ayah bagi kegiatan memberikan ASI
sebagai makanan terbaik bagi bayi.
Semua stres secara otomatis mempengaruhi produksi hormon oksitosin
yang tidak boleh dianggap remeh perannya dalam produksi ASI berkualitas.
Sayangnya, selama ini tidak semua orang memahami pentingnya mengelola
stres, bahkan kita cuma tahu, “Kamu jangan stres!” dan malah menjadi
semakin stres akibat solusi yang tidak menjangkau intinya.
Sains baru yang memperluas kesadaran peran orangtua
Sungguh kita hidup di zaman yang menarik. Sedikit demi sedikit,
berbagai rahasia alam semakin dapat dipahami oleh berkembangnya sains.
Cukup banyak dasar ilmu pengetahuan serta akal sehat yang dahulu kita
pelajari dari sistem pendidikan formal, yang sekarang menjadi kurang
akurat setelah ditelaah ulang lewat berbagai sains baru, termasuk dalam
bidang kesehatan lahir dan batin.
Contoh pertama, kode genetika yang tersimpan dalam inti sel manusia,
atau biasanya disebut DNA, selama ini dikenal sebagai pangkal
terbentuknya kesehatan dan bahkan karakter jiwa seseorang. Pemahaman
ini telah menjadi salah satu asumsi dasar ilmu medis, sehingga ketika
seseorang mengalami penyakit tertentu yang diklasifikasikan sebagai
penyakit karena keturunan (genetika), maka konsekuensinya kita cenderung
menjadi “korban” dari rangkaian gen yang kita warisi dan ada
ketidakberdayaan mental yang hadir karena kode DNA ini dianggap tetap,
baku dan tidak bisa berubah.
Namun studi yang dilakukan oleh Bruce Lipton, PhD, seorang pakar biologi sel yang saat ini terkenal dengan karyanya “Biology of Belief”,
menjelaskan bahwa asumsi dasar ini tidaklah benar. Pertama, menurutnya
kode DNA bukanlah pangkal kesehatan manusia, karena kode ini hanya
bersifat sebagai saklar yang terpetakan dalam sel. Kapan saklar
tersebut teraktifkan atau tidak aktif, tergantung dari sinyal
elektromagnet di sekitar dinding sel, yang bukan lain adalah berbagai
pikiran dan perasaan kita. Dampak dari temuan ini adalah kita tidak lagi
bisa menyalahkan warisan genetika sebagai penyebab penyakit atau sifat
buruk seseorang semata, namun juga harus menyadari pentingnya
keselarasan tubuh, pikiran dan jiwa, atau dengan kata lain, kesehatan
holistik.
Contoh kedua, biasanya kita cenderung memperhatikan potensi anak
ketika masih berada dalam kandungan, dimana kebutuhan nutrisi, emosional
dan keselarasan jiwa sang ibu diperhatikan lebih cermat. Percobaan
ilmiah yang dilakukan oleh Dr. Cleve Backster bersama dengan US Army,
justru menunjukkan fenomena yang begitu mencengangkan karena tidak bisa
dijelaskan oleh sains konvensional. Secara ilmiah, kita sudah mengetahui
bahwa emosi sangat mempengaruhi fungsi sel dalam tubuh manusia. Mereka
mengkaji lebih lanjut apakah kekuatan emosi dapat mempengaruhi sel
hidup, (terutama DNA), dan ketika sel sudah berpisah dari tubuh. Akal
sehat mengatakan tentu saja emosi sudah tidak lagi berpengaruhterhadap
sel hidup yang terpisah.
Para ahli mulai mengumpulkan DNA dari air liur para sukarelawan.
Sampel liur diisolir dan dipindah ke ruangan lain dalam gedung yang
sama. Dalam ruangan khusus tersebut, aktivitas listrik DNA diukur untuk
menentukan perubahan aktivitas DNA akibat perubahan emosi si pemilik
air liur tersebut. Sementara itu dalam ruang terpisah, sang donor DNA
diperlihatkan serangkaian film yang dirancang untuk memicu berbagai
emosi dalam tubuhnya (film perang, gambar erotis, hingga komedi).
Meskipun tidak ada penjelasan ilmiah, kajian tersebut memperlihatkan
perubahan respons listrik DNA di ruang khusus bertepatan dengan naik
turunnya emosi donor DNA di ruang film. Dari hasil kajian ini, kita
dapat melihat bahwa 2 sel hidup yang terpaut secara genetika, meskipun
terpisah secara fisik, akan selalu berhubungan dan saling mempengaruhi
dalam suatu dinamika, meskipun koneksitas tersebut hanya bisa dijelaskan
oleh sains baru seperti fisika kuantum.
Jika kita ingat bahwa anak adalah hasil pertemuan genetika dari kedua
orangnya, maka tidaklah terlalu sulit untuk berhipotesa bahwa
keterkaitan genetika terjadi tidak saja dalam kandungan, namun juga
dalam masa setelah anak dilahirkan, dan juga tidak hanya antara anak
dengan ibu, namun juga dengan ayahnya. Keterkaitan genetika pada proses
pembentukan janin dan asupan ASI sejak awal tumbuh kembang anak tentu
masih perlu ditelaah lebih lanjut, Walaupun demikian ilmu psikologi
perkembangan cenderung mendukung peranan kedua orangtua dalam
pertumbuhan jiwa anak yang sehat dan bahagia setelah lahir. Setiap
orangtua hendaknya paham bahwa cara mereka mengelola diri berpengaruh
terhadap perkembangan sel, jiwa dan kebahagiaan anaknya setiap saat.
Teori ilmiah tentang cinta
Beberapa profesor dari bidang psikiatri, Thomas Lewis, M.D., Fari Amini, M.D. dan Richard Lannon, M.D., dalam karyanya “General Theory of Love”, menjelaskan tentang bagaimana sistem otak dan saraf manusia belajar tentang cinta.
Sistem otak tidak dapat berfungsi dengan optimal bila tidak ada
keselarasan dalam sistem limbik. Sistem limbik kerap disebut sebagai “the emotional brain”,
karena secara fungsional merekam dan memproses berbagai pengalaman rasa
/ emosi terutama emosi yang lebih tinggi kompleksitasnya seperti
bagaimana kita mengenal, merasakan dan mendefinisikan ekspresi rasa
cinta.
Ketidakselarasan sistem limbik berarti tidak ada kejernihan berpikir
atau kreativitas atau akal sehat, saat perasaan hati / emosi sedang
kacau. Mungkin itulah sebabnya kita mendengar kearifan dari generasi
terdahulu bahwa sebaiknya kita menenangkan hati terlebih dahulu sebelum
mengambil keputusan atau suatu langkah penting dalam hidup.
Studi yang dilakukan oleh Heartmath di Amerika juga menunjukkan bahwa
keselarasan hati dan otak, juga memaksimalkan pancaran medan
elektromagnetik dari jantung yang menyebabkan perubahan aktivitas sel
hidup baik dalam maupun luar tubuh. Dalam bahasa lugasnya, Bagaimana
kita mengelola stres, dan memelihara keselarasan diri juga berpengaruh
terhadap aktivitas dan ekspresi sel hidup di sekitar kita, termasuk pada
anak kita sendiri.
Resonansi limbik antara anak dan orangtua
Bayi memiliki kemampuan yang hebat dalam mendeteksi, merasakan dan
mengekspresikan emosi, yang menjadikan mereka mengalokasikan perhatian
yang besar pada ekspresi wajah orang disekitarnya. Bahkan bayi yang
baru berumur beberapa hari saja sudah bisa membedakan makna dari
bermacam ekspresi wajah yang dilihatnya.
Bagaimana hal ini dapat terjadi? Kajian memperlihatkan Gelombang otak
anak usia 0 – 7 tahun cenderung lambat di sekitar frekuensi delta /
theta, atau sekitar 0.5 hingga 7 hertz. Gelombang otak lambat
berhubungan dengan fungsi intuisi dan telepati. Dari petunjuk ini,
timbullah suatu kemungkinan bahwa janin hingga 7 tahun, lebih banyak
belajar bagaikan spons informasi yang menyerap segala hal di sekitarnya,
ketimbang dibanding menyerap secara linier dan analitis.
Emosi adalah salah satu fungsi sosial yang terjadi pada makhluk hidup
yang memiliki otak limbik. Sama seperti penglihatan yang memberikan
kita data dari pantulan cahaya elektromagnet, dan pendengaran yang
memberikan kita data dari perubahan tekanan gelombang udara, maka
merasakan emosi adalah suatu data tentang kondisi di dalam dirinya serta
kondisi di dalam diri makhluk sekitarnya.
Kepekaan emosi berkembang menjadi kemampuan yang disebut resonansi
limbik, yaitu pertukaran rasa dan adaptasi internal yang terjadi terus
menerus antara 2 otak limbik, sehingga dua makhluk tersebut menjadi
makin terpaut rasa. Coba bayangkan ketika kita menatap kedua mata dari
orang yang sangat kita cintai, maka pada saat yang sama sebenarnya
sistem saraf dari orang tersebut dan kita secara otomatis terpaut dan
saling melakukan adaptasi dan pertukaran informasi, ditandai dengan
serangkaian perasaan hati yang datang dan pergi.
Proses resonansi limbik ini juga terjadi antara anak dengan
orangtua. Setiap pengalaman orangtua, baik yang hanya dirasakan di
dalam hati, maupun yang terucap, hingga yang terwujud dalam bentuk
perilaku adalah dinamika yang terekam sebagai bahan pembelajaran bagi
otak limbik sang anak. Oleh karena itu, sangaat penting bagi orangtua
untuk tidak membengkalaikan penyelarasan dirinya sendiri, karena anak
banyak belajar dari apa yang tidak terucap dan tidak terlihat dari
orangtuanya, ketimbang dari yang sekadar terucap dan terlihat.
Air susu ibu, genetika dan cinta
Kalau demikian, apakah implikasinya terhadap kegiatan menyusui dengan
ASI? Kita sekarang bisa mulai mengintegrasikan berbagai aspek yang
sudah dibahas sebelumnya secara lebih holistik.
Di satu sisi, ASI merupakan nutrisi yang terbaik bagi bayi. Kita
sudah membaca aspek nutrisi serta implikasinya secara fisik pada bab-bab
sebelumnya. Namun kita juga perlu ingat bahwa proses menyusui memiliki
dimensi psikologis dan spiritual yang begitu penting bagi masa depan
anak.
Dalam menyusui terjadi proses penyatuan yang alami dan sehat secara
kejiwaan antara ibu dan anak, sehingga proses resonansi limbik pun
terjadi, Menyusui yang dilakukan dengan penuh cinta dan keikhlasan, maka
data tersebut akan terekam dalam sistem saraf bayi, yang akan menyirami
benih cinta dalam diri mereka sendiri. Tanyakan kepada para psikolog,
betapa banyak masalah kejiwaan yang sesungguhnya berhubungan dengan
ketidakmampuan seseorang untuk mengenal dan mencintai dirinya sendiri.
Selain itu, sesuai dengan kajian tentang genetika dan pola asuh, proses
menyusui yang didasari oleh kesadaran jiwa, keselarasan hati dan cinta
kasih akan mempengaruhi ekspresi genetik yang ideal, sehingga
menghasilkan kesehatan fisik yang optimal.
Mengelola stres dengan mandiri, sederhana, dan efektif
Untuk dapat mengelola stres dengan baik, maka kita memerlukan
latihan. Tahap pertama yang mendasar adalah belajar untuk rileks.
Ingat bahwa beban dan ketegangan diri tidak pernah akan menolong situasi
apapun. Berbagai latihan yang bersifat merilekskan maupun menenangkan
seperti bernafas dengan lembut dan teratur, meditasi, relaksasi
progresif dapat membantu memulihkan ketidakseimbangan saraf dan hormon,
meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan memberikan
ketenangan/kepasrahan yang alami. Dengan berlatih mengembalikan
keselarasan diri, termasuk dengan latihan nafas, gerak, sentuhan,
pijatan serta keheningan dan kesadaran, dapat memelihara kesehatan lahir
batin lebih alami.
Dimana peran suami? Para suami/ayah mempunyai peran memberi dukungan
dan ketenangan bagi ibu yang sedang menyusui. Dalam praktek sehari-hari
tampaknya peran ayah ini justru sangat menentukan keberhasilan menyusui (breastfeeding father). Hal ini mencakup seberapa jauh ketrampilan masing-masing ayah maupun ibu dalam menata dirinya dalam mengelola stres.
Dengan melatih menata diri secara lahir batin, produksi ASI pun
menjadi lebih lancar dengan kualitas makin baik. Perlu diingat bahwa ASI
yang diproduksi ibu tidak lepas dari keselarasan pikiran dan jiwa dari
kedua orangtua melalui ASI, pikiran dan jiwa bayi ditumbuh-kembangkan
agar menjadi karakter yang kuat, cerdas dan bijaksana.
Bayi bahagia dimulai dari orangtua yang bahagia
Apakah mungkin kita dapat menyimpulkan pemahaman yang sederhana dan aplikatif dari penjabaran sebelumnya.
Pertama, marilah kita mulai menyadari bahwa ‘Bayi bahagia sebenarnya
dimulai dari orangtua yang bahagia’, dan untuk menindaklanjuti kesadaran
tersebut dimulai degan bercermin pada diri sendiri, ketimbang
meletakkan 100% perhatian hanya padaanak, sehingga diri sendiri
terbengkalai.
Kedua, setelah kita lebih sadar pada diri, mulai belajar untuk secara
sederhana dan efektif merawat keselarasan diri seutuhnya, secara lahir
batin agar hidup semakin sehat sentosa. Hal ini dapat dimulai dengan
belajar untuk rileks, berlatih diri untuk meluangkan waktu untuk hening
setiap hari, membiasakan pola komunikasi yang semakin jujur dan tulus,
serta mempelajari ketrampilan untuk mengolah emosi hingga mampu
mencairkan segala ketegangan menjadi kondisi yang tenteram dan ikhlas.
Ketiga, hayatilah proses menyusui sebagai suatu bentuk keluhuran yang
tidak dapat tergantikan dalam fase tumbuh kembang anak. ASI tidak hanya
penting karena nutrisinya, namun menjadi kondisi dasar untuk membentuk
anak yang penuh cinta dan sukacita. Lakukan proses menyusui dengan
kesadaran penuh untuk pertukaran rasa dan kasih sayang, Ingatlah hal ini
merupakan investasi lahir batin yang tidak akan pernah dapat
tergantikan, terutama karena memang merupakan perwujudan naluri cinta
ibu.
Keempat, bagi kedua orangtua, terutama ayah, sadari bahwa anak
sangatlah terbuka menyerap bagaimana kedua orangtuanya merasakan dan
mengalami stres, serta menghayati dan mengekspresikan cinta. Oleh karena
itu, teruslah sirami keharmonisan hubungan rumah tangga,
berkomunikasikan diri selalu dengan jujur dan tulus, dan cukupi suasana
spiritualitas sebagai landasan bagi para jiwa untuk tumbuh dalam
keluarga.
Terakhir, marilah kita menjadi konsumen yang aktif mengedukasi diri
sendiri. Terbukalah terhadap berbagai informasi yang bermanfaat untuk
hidup Anda, namun ingat juga bahwa para ahli, baik di bidang medis,
psikologis maupun penyembuhan alamiah, tidak akan pernah lebih mengenal
diri kita sebaik kita mengenal diri kita sendiri. Dengarkan kata hati,
hiduplah selaras dengan alam, dan ini akan menjadi teladan serta bekal
terbaik yang bisa Anda wariskan untuk anak kita.