Air Susu Ibu: Stres dan Cinta

Air Susu Ibu: Stres dan Cinta

[edit lirik]
Anak tumbuh sehat, cerdas dan bahagia adalah cita-cita, doa dan harapan setiap orang tua. Berbagai upaya, metode dan strategi ditempuh untuk memaksimalkan proses tumbuh kembang anak. Namun pada saat yang sama, terdapat juga berbagai tantangan, kerumitan yang sulit terantisipansi, bahkan di abad modern ini agaknya mengasuh anak dengan arif dan baik justru terlihat semakin sulit. 
Maukah kita sejenak merenungkan dimanakah titik awal dari anak yang berbahagia?  Mungkinkah syarat utama dari anak yang bahagia, sebenarnya bermula dari orangtua yang bahagia? Seandainya memang demikian muncul pertanyaan mengapa tidak meluangkan cukup perhatian pada bagaimana orangtua dapat berbahagia?  Bukankah itu prasyarat agar anak dapat belajar untuk berbahagia dalam hidupnya?
Terlalu fokus ke anak, diri terbengkalai

Ingatkah Anda tentang instruksi sebelum pesawat terbang akan lepas landas, yang menjelaskan prosedur keselamatan bagi mereka yang pergi bersama anak kecil?  Kita senantiasa diingatkan jika masker oksigen turun, kenakan alat tersebut pada diri sendiri sebelum memasangnya pada anak kecil di sebelah kita.  Relakah kita untuk berhenti sejenak dan menghayati filosofi di balik anjuran ini?
Bagaimanapun juga, kita tidak bisa bermanfaat bagi orang lain sebelum menolong diri sendiri. Entah mengapa, prinsip sederhana ini kerap terabaikan oleh para orangtua yang kerapkali melupakan dirinya dan keselarasan hidupnya. 
Oleh karena itu, saya ingin memulai pembahasan tentang bagaimana kita, terutama para orangtua, dapat tercuri kebahagiaannya.  Mungkin jika kita siap merunut sejauh ini, maka mungkin kita dapat mencetus suatu kesadaran baru dalam mengelola tumbuh kembang anak yang lebih realistis, sederhana dan bijaksana.
Sulitnya mengelola pencuri kebahagiaan
Apabila kita menengok lebih jauh ke dalam kehidupan sehari-hari, umumnya kita akan menemukan sebuah kata menarik yang jarang kita renungkan, namun kerap dialami semua orang. Kata tersebut adalah “Stres”.  Kemanakah jari Anda menunjuk, ketika ditanya dimana letaknya stres bagi Anda?  Sebagian orang akan menunjuk ke kepala dan otak, dimana seringkali muncul berbagai rasa kuatir, pikiran yang enggan diajak beristirahat, hingga seolah kesibukan roda pikir menjadi kebanggaan, atau bahkan simbol pembuktian bahwa diri kita produktif dan sukses. Sebagian orang lain akan menunjuk ke dadanya sebagai perwakilan dari rasa tidak bahagia yang bermacam-macam jubahnya, baik sedih, kecewa, frustrasi, marah, kuatir, duka, dan rasa letih.
Menjadi orangtua pun merupakan kondisi hidup yang menggiring kita untuk menghadapi pasang surutnya stres, terutama dengan sederet target yang kita pasang bagi anak tercinta, dan semuanya harus dicapai dengan hasrat kesempurnaan.  Sungguh beban yang luar biasa!
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Simonton menunjukkan bahwa stres bukanlah suatu beban yang muncul akibat peristiwa tertentu yang terjadi dalam hidup kita, namun beban yang muncul akibat ketidakmampuan kita untuk menghadapi dan mengelola diri ketika suatu perubahan hidup terjadi. Jadi stres adalah fenomena tidak adanya ketrampilan untuk mengelola tubuh, jiwa dan pikiran kita.  Ini tentunya menjadi sudut introspeksi karena seringkali dengan mudah kita menuding kepada pihak tertentu atau peristiwa tertentu sebagai “penyebab” stres kita, padahal penyebab sebenarnya ada di ketidaktrampilan kita dalam menata diri.
Makin kita menghayati fenomena stres, semakin juga kita menyadari bahwa stres bukanlah sekadar fenomena pikiran saja, namun merupakan pengalaman lahir batin (mind-body experience). Dari titik inilah akan terbentuk orangtua yang bahagia, hingga anak pun akan memetik keteladanan untuk berbahagia bagi hidupnya sendiri.

Pendekatan Menyeluruh untuk Mencapai Sehat Sentosa

Tubuh (fisik) dengan pikiran dan jiwa (psikis), merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Sebagian besar dari kita pernah mengalami atau melihat orang di lingkungan kita tiba-tiba jatuh sakit setelah mengalami stres yang bertubi-tubi.  Kedua hal tersebut merupakan cermin; apa yang terjadi pada pikiran (jiwa) akan tercermin dalam tubuh (fisik), dan demikian pula sebaliknya. Dengan kata lain, hampir semua ketidakselarasan yang dialami manusia memiliki eksistensi pada fisik dan psikis.
Sehubungan dengan hal tersebut muncul istilah keterkaitan model PNEI (psycho-neuro-endocrino-immuno), yaitu ketidakselarasan pikiran dan jiwa (psycho) akan mencetuskan gangguan keseimbangan saraf (neuro), yang selanjutnya akan mengganggu fungsi hormonal (endocrino) dan akhirnya mempengaruhi daya tahan tubuh (immuno).
Jangan lupa bahwa anak tidak hanya belajar tentang hal-hal yang diucapkan oleh orangtua secara verbal, namun juga berdasarkan apa yang dirasakan oleh orangtuanya, sehingga pola orangtua mengatasi stres pun menjadi suatu pembelajaran pula bagi anak. Hal tersebut sebenarnya menggiring kita pada kesadaran baru dalam merawat kesehatan lahir dan batin, atau apa yang dikenal sebagai kesehatan holistik. 
Kesehatan holistik yang perlu disadari bersama
Kesehatan holistik mengandung pengertian sehat tubuh (pola makan, istirahat dan olahraga yang tepat), sehat pikiran (alam pikiran yang mampu rileks, tenang, jernih), sehat jiwa (ikhlas, tentram dan pasrah) dan sehat energi (mengalir dan harmonis).  Semua komponen ini saling melengkapi dan menunjang. Tanpa memelihara kesehatan diri secara holistik, maka segala hal yang sudah kita lakukan mengatur pola makan, olahraga, serta anjuran medis lainnya, akan menghasilkan solusi yang tidak lengkap.
ASI dan stres
Proses menyusui bukanlah semata mata proses antara ibu dan bayi saja. Seorang ayah dan lingkungan yang mengelilingi ibu sangat menentukan keberhasilan menyusui. Bahkan proses memberikan ASI itu sendiri memiliki aspek psikologis dan ruhaniah antara ibu, bayi dan seorang ayah, bukan sekedar tempel dan biarkan bayi menyusui saja.
Ada beberapa jenis stres yang umum dialami oleh ibu menyusui.  Dari mulai kuatir akan kurangnya kuantitas produksi ASI, atau merasa kualitas ASInya tidak cukup baik untuk sang bayi, takut bentuk tubuh atau payudaranya berubah (faktor estetika), stres akibat perubahan pola / gaya hidup terutama bilamana menyusui anak pertama, takut terjangkit penyakit selama masa ASI eksklusif 6 bulan, stres karena merasa pemberian ASI kurang praktis bagi ibu yang bekerja, dan stres dari kurang tepatnya dukungan suami / sang ayah bagi kegiatan memberikan ASI sebagai makanan terbaik bagi bayi.
Semua stres secara otomatis mempengaruhi produksi hormon oksitosin yang tidak boleh dianggap remeh perannya dalam produksi ASI berkualitas. Sayangnya, selama ini tidak semua orang memahami pentingnya mengelola stres, bahkan kita cuma tahu, “Kamu jangan stres!” dan malah menjadi semakin stres akibat solusi yang tidak menjangkau intinya.
Sains baru yang memperluas kesadaran peran orangtua
Sungguh kita hidup di zaman yang menarik. Sedikit demi sedikit, berbagai rahasia alam semakin dapat dipahami oleh berkembangnya sains.  Cukup banyak dasar ilmu pengetahuan serta akal sehat yang dahulu kita pelajari dari sistem pendidikan formal, yang sekarang menjadi kurang akurat setelah ditelaah ulang lewat berbagai sains baru, termasuk dalam bidang kesehatan lahir dan batin.
Contoh pertama, kode genetika yang tersimpan dalam inti sel manusia, atau biasanya disebut DNA, selama ini dikenal sebagai pangkal terbentuknya kesehatan dan bahkan karakter jiwa seseorang.  Pemahaman ini telah menjadi salah satu asumsi dasar ilmu medis, sehingga ketika seseorang mengalami penyakit tertentu yang diklasifikasikan sebagai penyakit karena keturunan (genetika), maka konsekuensinya kita cenderung menjadi “korban” dari rangkaian gen yang kita warisi dan ada ketidakberdayaan mental yang hadir karena kode DNA ini dianggap tetap, baku dan tidak bisa berubah.
Namun studi yang dilakukan oleh Bruce Lipton, PhD, seorang pakar biologi sel yang saat ini terkenal dengan karyanya “Biology of Belief”, menjelaskan bahwa asumsi dasar ini tidaklah benar.  Pertama, menurutnya kode DNA bukanlah pangkal kesehatan manusia, karena kode ini hanya bersifat sebagai saklar yang terpetakan dalam sel.  Kapan saklar tersebut teraktifkan atau tidak aktif, tergantung dari sinyal elektromagnet di sekitar dinding sel, yang bukan lain adalah berbagai pikiran dan perasaan kita. Dampak dari temuan ini adalah kita tidak lagi bisa menyalahkan warisan genetika sebagai penyebab penyakit atau sifat buruk seseorang semata, namun juga harus menyadari pentingnya keselarasan tubuh, pikiran dan jiwa, atau dengan kata lain, kesehatan holistik.
Contoh kedua, biasanya kita cenderung memperhatikan potensi anak ketika masih berada dalam kandungan, dimana kebutuhan nutrisi, emosional dan keselarasan jiwa sang ibu diperhatikan lebih cermat. Percobaan ilmiah yang dilakukan oleh Dr. Cleve Backster bersama dengan US Army, justru menunjukkan fenomena yang begitu mencengangkan karena tidak bisa dijelaskan oleh sains konvensional. Secara ilmiah, kita sudah mengetahui bahwa emosi sangat mempengaruhi fungsi sel dalam tubuh manusia. Mereka mengkaji lebih lanjut apakah kekuatan emosi dapat mempengaruhi sel hidup, (terutama DNA), dan ketika sel sudah berpisah dari tubuh.  Akal sehat mengatakan tentu saja emosi sudah tidak lagi berpengaruhterhadap sel hidup yang terpisah.
Para ahli mulai mengumpulkan DNA dari air liur para sukarelawan.  Sampel liur diisolir dan dipindah ke ruangan lain dalam gedung yang sama.  Dalam ruangan khusus tersebut, aktivitas listrik DNA diukur untuk menentukan perubahan aktivitas DNA akibat perubahan emosi si pemilik air liur tersebut.  Sementara itu dalam ruang terpisah, sang donor DNA diperlihatkan serangkaian film yang dirancang untuk memicu berbagai emosi dalam tubuhnya (film perang, gambar erotis, hingga komedi). Meskipun tidak ada penjelasan ilmiah, kajian tersebut memperlihatkan perubahan respons listrik DNA di ruang khusus bertepatan dengan naik turunnya emosi donor DNA di ruang film. Dari hasil kajian ini, kita dapat melihat bahwa 2 sel hidup yang terpaut secara genetika, meskipun terpisah secara fisik, akan selalu berhubungan dan saling mempengaruhi dalam suatu dinamika, meskipun koneksitas tersebut hanya bisa dijelaskan oleh sains baru seperti fisika kuantum.
Jika kita ingat bahwa anak adalah hasil pertemuan genetika dari kedua orangnya, maka tidaklah terlalu sulit untuk berhipotesa bahwa keterkaitan genetika terjadi tidak saja dalam kandungan, namun juga dalam masa setelah anak dilahirkan, dan juga tidak hanya antara anak dengan ibu, namun juga dengan ayahnya. Keterkaitan genetika pada proses pembentukan janin dan asupan ASI sejak awal tumbuh kembang anak tentu masih perlu ditelaah lebih lanjut, Walaupun demikian ilmu psikologi perkembangan cenderung mendukung peranan kedua orangtua dalam pertumbuhan jiwa anak yang sehat dan bahagia setelah lahir. Setiap orangtua hendaknya paham bahwa cara mereka mengelola diri berpengaruh terhadap perkembangan sel, jiwa dan kebahagiaan anaknya setiap saat.
Teori ilmiah tentang cinta
Beberapa profesor dari bidang psikiatri, Thomas Lewis, M.D., Fari Amini, M.D. dan Richard Lannon, M.D., dalam karyanya “General Theory of Love”, menjelaskan tentang bagaimana sistem otak dan saraf manusia belajar tentang cinta.
Sistem otak tidak dapat berfungsi dengan optimal bila tidak ada keselarasan dalam sistem limbik. Sistem limbik kerap disebut sebagai “the emotional brain”, karena secara fungsional merekam dan memproses berbagai pengalaman rasa / emosi terutama emosi yang lebih tinggi kompleksitasnya seperti bagaimana kita mengenal, merasakan dan mendefinisikan ekspresi rasa cinta.
Ketidakselarasan sistem limbik berarti tidak ada kejernihan berpikir atau kreativitas atau akal sehat, saat perasaan hati / emosi sedang kacau. Mungkin itulah sebabnya kita mendengar kearifan dari generasi terdahulu bahwa sebaiknya kita menenangkan hati terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan atau suatu langkah penting dalam hidup.
Studi yang dilakukan oleh Heartmath di Amerika juga menunjukkan bahwa keselarasan hati dan otak, juga memaksimalkan pancaran medan elektromagnetik dari jantung yang menyebabkan perubahan aktivitas sel hidup baik dalam maupun luar tubuh. Dalam bahasa lugasnya, Bagaimana kita mengelola stres, dan memelihara keselarasan diri juga berpengaruh terhadap aktivitas dan ekspresi sel hidup di sekitar kita, termasuk pada anak kita sendiri. 

Resonansi limbik antara anak dan orangtua

Bayi memiliki kemampuan yang hebat dalam mendeteksi, merasakan dan mengekspresikan emosi, yang menjadikan mereka mengalokasikan perhatian yang besar pada ekspresi wajah orang disekitarnya.  Bahkan bayi yang baru berumur beberapa hari saja sudah bisa membedakan makna dari bermacam ekspresi wajah yang dilihatnya.
Bagaimana hal ini dapat terjadi? Kajian memperlihatkan Gelombang otak anak usia 0 – 7 tahun cenderung lambat di sekitar frekuensi delta / theta, atau sekitar 0.5 hingga 7 hertz. Gelombang otak lambat berhubungan dengan fungsi intuisi dan telepati.  Dari petunjuk ini, timbullah suatu kemungkinan bahwa janin hingga 7 tahun, lebih banyak belajar bagaikan spons informasi yang menyerap segala hal di sekitarnya, ketimbang dibanding menyerap secara linier dan analitis.
Emosi adalah salah satu fungsi sosial yang terjadi pada makhluk hidup yang memiliki otak limbik. Sama seperti penglihatan yang memberikan kita data dari pantulan cahaya elektromagnet, dan pendengaran yang memberikan kita data dari perubahan tekanan gelombang udara, maka merasakan emosi adalah suatu data tentang kondisi di dalam dirinya serta kondisi di dalam diri makhluk sekitarnya.
Kepekaan emosi berkembang menjadi kemampuan yang disebut resonansi limbik, yaitu pertukaran rasa dan adaptasi internal yang terjadi terus menerus antara 2 otak limbik, sehingga dua makhluk tersebut menjadi makin terpaut rasa.  Coba bayangkan ketika kita menatap kedua mata dari orang yang sangat kita cintai, maka pada saat yang sama sebenarnya sistem saraf dari orang tersebut dan kita secara otomatis terpaut dan saling melakukan adaptasi dan pertukaran informasi, ditandai dengan serangkaian perasaan hati yang datang dan pergi.
Proses resonansi limbik ini juga terjadi antara anak dengan orangtua.  Setiap pengalaman orangtua, baik yang hanya dirasakan di dalam hati, maupun yang terucap, hingga yang terwujud dalam bentuk perilaku adalah dinamika yang terekam sebagai bahan pembelajaran bagi otak limbik sang anak. Oleh karena itu, sangaat penting bagi orangtua untuk tidak membengkalaikan penyelarasan dirinya sendiri, karena anak banyak belajar dari apa yang tidak terucap dan tidak terlihat dari orangtuanya, ketimbang dari yang sekadar terucap dan terlihat.
Air susu ibu, genetika dan cinta
Kalau demikian, apakah implikasinya terhadap kegiatan menyusui dengan ASI?  Kita sekarang bisa mulai mengintegrasikan berbagai aspek yang sudah dibahas sebelumnya secara lebih holistik. 
Di satu sisi, ASI merupakan nutrisi yang terbaik bagi bayi.  Kita sudah membaca aspek nutrisi serta implikasinya secara fisik pada bab-bab sebelumnya.  Namun kita juga perlu ingat bahwa proses menyusui memiliki dimensi psikologis dan spiritual yang begitu penting bagi masa depan anak.
Dalam menyusui terjadi proses penyatuan yang alami dan sehat secara kejiwaan antara ibu dan anak, sehingga proses resonansi limbik pun terjadi, Menyusui yang dilakukan dengan penuh cinta dan keikhlasan, maka data tersebut akan terekam dalam sistem saraf bayi, yang akan menyirami benih cinta dalam diri mereka sendiri.  Tanyakan kepada para psikolog, betapa banyak masalah kejiwaan yang sesungguhnya berhubungan dengan ketidakmampuan seseorang untuk mengenal dan mencintai dirinya sendiri. Selain itu, sesuai dengan kajian tentang genetika dan pola asuh, proses menyusui yang didasari oleh kesadaran jiwa, keselarasan hati dan cinta kasih akan mempengaruhi ekspresi genetik yang ideal, sehingga menghasilkan kesehatan fisik yang optimal.
Mengelola stres dengan mandiri, sederhana, dan efektif
Untuk dapat mengelola stres dengan baik, maka kita memerlukan latihan.  Tahap pertama yang mendasar adalah belajar untuk rileks.  Ingat bahwa beban dan ketegangan diri tidak pernah akan menolong situasi apapun. Berbagai latihan yang bersifat merilekskan maupun menenangkan seperti bernafas dengan lembut dan teratur, meditasi, relaksasi progresif dapat membantu memulihkan ketidakseimbangan saraf dan hormon, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan memberikan ketenangan/kepasrahan yang alami. Dengan berlatih mengembalikan keselarasan diri, termasuk dengan latihan nafas, gerak, sentuhan, pijatan serta keheningan dan kesadaran, dapat memelihara kesehatan lahir batin lebih alami.
Dimana peran suami? Para suami/ayah mempunyai peran memberi dukungan dan ketenangan bagi ibu yang sedang menyusui. Dalam praktek sehari-hari tampaknya peran ayah ini justru sangat menentukan keberhasilan menyusui (breastfeeding father). Hal ini mencakup seberapa jauh ketrampilan masing-masing ayah maupun ibu dalam menata dirinya dalam mengelola stres.
Dengan melatih menata diri secara lahir batin, produksi ASI pun menjadi lebih lancar dengan kualitas makin baik. Perlu diingat bahwa ASI yang diproduksi ibu tidak lepas dari keselarasan pikiran dan jiwa dari kedua orangtua melalui ASI, pikiran dan jiwa bayi ditumbuh-kembangkan agar menjadi karakter yang kuat, cerdas dan bijaksana.
Bayi bahagia dimulai dari orangtua yang bahagia
Apakah mungkin kita dapat menyimpulkan pemahaman yang sederhana dan aplikatif dari penjabaran sebelumnya.
Pertama, marilah kita mulai menyadari bahwa ‘Bayi bahagia sebenarnya dimulai dari orangtua yang bahagia’, dan untuk menindaklanjuti kesadaran tersebut dimulai degan bercermin pada diri sendiri, ketimbang meletakkan 100% perhatian hanya padaanak, sehingga diri sendiri terbengkalai.
Kedua, setelah kita lebih sadar pada diri, mulai belajar untuk secara sederhana dan efektif merawat keselarasan diri seutuhnya, secara lahir batin agar hidup semakin sehat sentosa.  Hal ini dapat dimulai dengan belajar untuk rileks, berlatih diri untuk meluangkan waktu untuk hening setiap hari, membiasakan pola komunikasi yang semakin jujur dan tulus, serta mempelajari ketrampilan untuk mengolah emosi hingga mampu mencairkan segala ketegangan menjadi kondisi yang tenteram dan ikhlas. 
Ketiga, hayatilah proses menyusui sebagai suatu bentuk keluhuran yang tidak dapat tergantikan dalam fase tumbuh kembang anak. ASI tidak hanya penting karena nutrisinya, namun menjadi kondisi dasar untuk membentuk anak yang penuh cinta dan sukacita.  Lakukan proses menyusui dengan kesadaran penuh untuk pertukaran rasa dan kasih sayang, Ingatlah hal ini merupakan investasi lahir batin yang tidak akan pernah dapat tergantikan, terutama karena memang merupakan perwujudan naluri cinta ibu. 
Keempat, bagi kedua orangtua, terutama ayah, sadari bahwa anak sangatlah terbuka menyerap bagaimana kedua orangtuanya merasakan dan mengalami stres, serta menghayati dan mengekspresikan cinta. Oleh karena itu, teruslah sirami keharmonisan hubungan rumah tangga, berkomunikasikan diri selalu dengan jujur dan tulus, dan cukupi suasana spiritualitas sebagai landasan bagi para jiwa untuk tumbuh dalam keluarga.
Terakhir, marilah kita menjadi konsumen yang aktif mengedukasi diri sendiri.  Terbukalah terhadap berbagai informasi yang bermanfaat untuk hidup Anda, namun ingat juga bahwa para ahli, baik di bidang medis, psikologis maupun penyembuhan alamiah, tidak akan pernah lebih mengenal diri kita  sebaik kita mengenal diri kita sendiri.  Dengarkan kata hati, hiduplah selaras dengan alam, dan ini akan menjadi teladan serta bekal terbaik yang bisa Anda wariskan untuk anak kita.