Angka kejadian obesitas
Angka kejadian obesitas pada anak menunjukkan peningkatan yang bermakna bukan saja di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Di Inggris prevalens obesitas anak lelaki adalah 1,2% pada tahun 1984 menjadi 3,4% pada tahun 1996-1997 dan pada tahun 2002-2003 menjadi 6%. Sedangkan di Cina pada tahun 1992 prevalens obesitas anak lelaki adalah 7%, kemudian meningkat menjadi 32,5% pada tahun 2005. Di Singapura juga terjadi keadaan yang sama, prevalens obesitas anak pada tahun 1984 sampai tahun 1989 adalah 9% meningkat menjadi 14,5 pada tahun 1989.
Di negara maju upaya pengendalian obesitas anak mulai menunjukkan hasilnya dengan menurunnya jumlah anak yang mengalami obesitas. Di negara berkembang, karena belum adanya program yang komprehensif prevalens obersitas belum banyak berubah dalam 10 tahun terakhir, bahkan terdapat kecenderungan meningkat di beberapa kota besar. Penelitian multisenter di 10 kota besar di Indonesia pada anak usia sekolah menunjukkan prevalens antara 2,5% sampai dengan 27%. Tata laksana obesitas pada anak meliputi 3 upaya pokok yaitu intervensi nutrisi, pengubahan perilaku makan, dan peningkatan aktifitas fisik. Pada beberapa kasus misalnya pada anak remaja atau anak dengan obesitas morbid (obesitas dengan penyulit penyakit lain) pemberian obat dan tindakan bedah dapat dipertimbangkan. Walaupun tatalaksana obesitas mendatangkan hasil yang memuaskan, tetapi dalam praktek sehari-hari tidak mudah melakukan tata laksana obesitas pada anak, khususnya anak balita. Beberapa kendala yang dialami antara lain orangtua kurang memahami mengenai dampak kesehatan dan sosial obesitas, persepsi orangtua yang salah tentang obesitas, sulitnya memberikan penjelasan kepada anak dengan obesitas terutama anak balita, obat-obat untuk penanganan obesitas anak masih sangat terbatas, tidak semua obat untuk penanganan obesitas dapat diberikan kepada anak, belum lagi nasihat diet yang seringkali diabaikan baik oleh anak maupun orangtua. Oleh karena itu pencegahan obesitas memegang peran penting dalam upaya penurunan angka kejadian obesitas anak. Pencegahan tersebut dapat dimulai sejak dini yaitu dengan memantau berat badan anak dengan cara menimbang berat badan secara berkala. Pemberian makanan sehat yang biasa dikenal dengan gizi seimbang juga harus diperkenalkan sejak dini kepada anak. Upaya lain yaitu dengan membiasakan anak berolah raga secara teratur dan mengurangi sedentary life yaitu gaya hidup yang kurang aktif bergerak.
Penyebab obesitas
Dahulu sel adiposit (sel lemak) dipahami hanya sebagai tempat penyimpanan kelebihan energi dalam bentuk asam lemak dan kolesterol. Namun penelitian selanjutnya membuktikan sel lemak ternyata juga menghasilkan beberapa zat aktif yang berfungsi atau menyerupai hormon seperti leptin, adiponektin dan masih banyak lagi. Secara biokimia pada awalnya salah satu hipotesis penyebab obesitas adalah menurunnya kadar hormon leptin (hipoleptinemia) sehingga terjadi disfungsi leptin. Hal ini mengakibatkan leptin tidak mampu menjalankan fungsinya menurunkan asupan makanan dan meningkatkan pengeluaran energi. Namun ternyata penelitian menunjukkan pada obesitas anak dan dewasa terjadi peningkatan kadar leptin (hiperleptinemia) , namun tetap saja terjadi disfungsi hormon leptin, hal disebabkan terjadinya keadaan resistensi leptin. Secara umum penyebab obesitas dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu faktor lingkungan dan faktor genetik. Sekitar 90 % penyebab obesitas adalah faktor lingkungan yang meliputi pola makan yang berlebihan dan cara hidup yang tidak sehat (sedentary life). Penelitian pada anak obes di beberapa sekolah swasta di Jakarta menunjukkan sebagian besar anak tersebut mengonsumsi energi dan lemak di atas jumlah yang dianjurkan. Konsumsi makanan yang berlebihan yang tidak diikuti dengan aktifitas fisis yang memadai akan mengakibatkan energi yang masuk (energy intake) lebih banyak dari energi yang dikeluarkan (energy expenditure). Kelebihan energi ini baik yang berasal dari karbohidrat, protein atau lemak akan disimpan dalam bentuk kolesterol, asam lemak bebas dan trigliserida. Kelebihan lemak inilah yang akan menyebabkan perubahan kesimbangan hormon di sel lemak serta gangguan pada pengaturan kesimbangan energi dengan akibat timbulnya beberapa komplikasi seperti hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus tipe 2, gangguan saluran napasserta gangguan pada tulang.
Air Susu Ibu dan Keseimbangan Energi
Penelitian menunjukkan bayi yang mendapat ASI tumbuh lebih cepat pada 2-3 bulan pertama kehidupan selanjutnya, namun secara keseluruhan sampai usia 6 bulan berat badan bayi yang mendapat ASI lebih ringan dibanding yang tidak mendapat ASI. Hal ini bukan berarti bayi yang mendapat ASI mengalami gangguan pertumbuhan, karena pertumbuhan yang optimal justru pertumbuhan yang ditunjukkan oleh bayi yang mendapat ASI. Hal ini disebabkan bayi yang mengonsumsi ASI dapat mengatur sendiri jumlah nutrisi yang diperlukan sesuai dengan rasa lapar dan kenyang bayi, sedangkan bila diberikan susu formula maka jumlah nutrisi yang dikonsumsi bayi tergantung pada pemberi baik orangtua maupun pengasuh. Beberapa penelitian menunjukkan bayi yang mendapat susu formula akan mengonsumsi jumlah kalori yang lebih besar dibandingkan bayi yang mendapat ASI. Asupan energi yang berlebihan akan menyebabkan obesitas dan obesitas akan menyebabkan sel lemak mengalami hiperplasia (bertambahnya jumlah sel) dan hipertrofi (bertambahnya ukuran sel). Keadaan hiperplasia dan hipertrofi sel adiposit akan menyebabkan sel ini menghasilkan adipositokin ( substrat-substark kimia antara lain hormon seperti leptin, adiponektin) mengalami disfungsi. Pada keadaan ini kadar hormon leptin meningkat namun tidak mampu menjalankan fungsinya yaitu mengurangi asupan makanan dan meningkatkan penggunaan energi. Penelitian pada remaja usia 13-16 tahun yang lahir prematur satu kelompok mendapat susu formula sedangkan kelompok lain medapat ASI donor memperlihatkan, remaja yang semasa bayi mendapat ASI mempunyai kadar leptin yang relatif normal.
Peran ASI dalam pencegahan obesitas
Penelitian pertama yang mencoba mencari peran ASI terhadap kejadian obesitas anak dilakukan oleh Kramer pada tahun 1981 yang menyimpulkan ASI berperan terhadap pencegahan obesitas. Setelah itu banyak penelitian sejenis yang dilakukan dengan berbagai disain penelitian. Seperti telah disinggung di awal tulisan, penelitian untuk mencari hubungan antara pemberian ASI dan risiko obesitas dikemudian hari menggunakan kriteria/parameter yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut antara lain pada definisi ASI eksklusif, penentuan diagnosis obesitas dan jangka waktu pemantauan (follow up). Di bawah ini rangkuman tentang penelitianpenelitan yang telah dilakukan.
Penelitian di Indonesia yang mengkaji hubungan pemberian ASI dengan timbulnya atau risiko obesitas sepengetahuan penulis masih sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi, walaupun Indonesia termasuk negara berkembang namun frekuensi pemberian ASI terutama ASI eksklusif masih rendah khususnya di kota-kota besar. Penelitian untuk mencari hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan risiko terjadinya obesitas dilakukan di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang melibatkan sekitar 700 anak usia 3-5 tahun. Disain yang digunakan adalah kohort retrospektif, yang kemudian dilakukan analisis menggunakan uji kai kuadrat dan regresi logistik. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ASI dapat menurunkan risiko obesitas pada anak bila diberikan sampai usia 12-24 bulan. Faktor lain yang juga harus dipertimbangkan adalah usia saat bayi diberikan makanan pendamping ASI. Penelitian ini tidak menjelaskan mekanisme bagiamana ASI dapat mengurangi risiko obesitas.
Penelitian dilakukan oleh beberapa peneliti dari Jerman pada tahun 2004 yang melakukan meta analisis terhadap 9 penelitian yang memenuhi kriteria dari sekitar 900 penelitian yang direkrut. Sembilan penelitian ini terdiri dari penelitian seksi silang (cross sectional) dan kohort dengan basis penelitian populasi/komunitas. Sebanyak 69000 anak terlibat dalam meta analisis ini dengan usia pemantauan tertua mencapai 18 tahun. Peneliti berkesimpulan secara metodologi sulit melakukan penelitian meta analisis hubungan ASI dengan risiko obesitas karena untuk disain ini diperlukan penelitian kontrol acak (randomized control trial) yang secara etika sulit dilakukan untuk ASI. Peneliti-peneliti Jerman ini berkesimpulan walaupun kecil ASI tampaknya mempunyai efek protektif terhadap risiko obesitas anak di kemudian hari. Namun demikian peneliti tidak dapat menjelaskan secara pasti bagaimana mekanisme ASI dapat mengurangi risiko obesitas anak. Dugaan mekanismenya adalah faktor perilaku dan mekanisme hormonal yang mempengaruhi asupan makronutrien. Kadar hormon insulin yang lebih tinggi pada bayi yang minum susu formula dibandingkan bayi yang mendapat ASI akan merangsang deposit lemak, sehingga risiko obesitas sudah mulai terjadi pada usia dini. Sedangkan bayi yang mendapat ASI terhindar dari risiko obesitas karena peran faktor bioaktif yang ada di dalam ASI akan merangsang faktor pertumbuhan yang selanjutnya menghambat diferensiasi sel adiposit menjadi sel adiposit abnormal. Disamping itu asupan protein dan kalori anak yang mendapat ASI lebih rendah dibandingkan yang mendapat susu formula.
Peneliti Jerman lainnya pada tahun 2005 melakukan penelitian meta analisis tentang hubungan ASI dan risiko obesitas pada anak. Meta analisis ini meliputi 17 penelitian yang melibatkan lebih dari 100 ribu anak yang diamati risiko obesitas sampai usia tertua 14 tahun (1 penelitian mengamati sampai anak berusia 26 tahun). Peneliti mendapatkan ASI secara terbalik dan linear berhubungan dengan risiko obesitas, yang berarti makin lama anak diberi ASI maka risiko obesitas menjadi semakin berkurang. Risiko obesitas juga berkurang 4 % tiap bulan pada saat diberi ASI, tetapi efek ini hanya terjadi sampai pemberian ASI 9 bulan saja, dan tidak dipengaruhi oleh definisi obesitas serta usia pada saat pemantauan. Menurut peneliti ini mekanisme bagaimana ASI dapat menurunkan risiko terhadap obesitas belum jelas, namun dikemukakan anak yang mendapat ASI mempunyai kenaikan berat badan tidak sebanyak bayi dengan susu formula pada masa kritis neonatus. Hal ini menyebabkan anak yang mendapat ASI mempunyai asupan kalori yang lebih rendah dibandingkan bayi yang mendapat susu formula. Kenaikan berat badan yang rendah selama masa kritis neonatus telah dibuktikan berhubungan dengan menurunnya risiko obesitas pada masa remaja dan dewasa.
Penelitian dengan disain kohort dilakukan oleh peneliti dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Pennsylvania, di Amerika yang bertujuan menguji hipotesis apakah terdapat hubungan antara pemberian ASI dengan timbulnya obesitas pada populasi anak usia pra sekolah dengan ras/etnik yang berbeda. Penelitian dilakukan selama 2 tahun (1998-2000) yang melibatkan lebih dari 2400 anak dari 20 kota besar di 15 negara bagian di Amerika. Subjek dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok yang tidak mendapat ASI, mendapat kurang dari 4 bulan dan mendapat ASI 4 bulan atau lebih. Penelitian ini menunjukkan hubungan antara pemberian ASI dengan timbulnya obesitas berbeda untuk tiap ras. Untuk ras Hispanik (keturunan latin) kejadian obesitas lebih rendah pada anak yang mendapat ASI lebih atau sama dengan 4 bulan dibandingkan dengan yang tidak mendapat ASI atau diberikan ASI kurang dari 4 bulan. Namun demikian pemberian ASI tidak berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak-anak ras kulit putih dan hitam.
Pada tahun 2008 di Norwegia dilakukan penelitian tentang hubungan ASI dengan risiko obesitas pada masa anak dan remaja menggunakan disain seksi potong lintang (cross sectional). Peneliti ini menggunakan tebal lipatan kulit sebagai parameter penimbunan lemak tubuh, karena beranggapan parameter ini jauh lebih baik untuk merefleksikan massa lemak tubuh dibandingkan dengan menggunakan parameter indeks massa tubuh (IMT). Sebanyak 1137 bayi diikutsertakan dalam penelitian ini dengan usia tertua pada saat dipantau adalah 15 tahun. Penemuan pada penelitian ini adalah anak usia 15 tahun yang diberikan ASI kurang dari 2 bulan mempunyai IMT, lingkaran pinggang dan tebal lipatan kulit yang lebih besar dibandingkan anak seusia yang diberikan ASI 6 bulan atau lebih. Efek ini tidak berlaku lagi setelah dilakukan pengendalian (adjustment) untuk usia ibu dan kebiasaan ibu merokok. Namun demikian penelitian di Swedia ini tidak berhasil mendukung temuan pada penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan makin lama ASI diberikan masih kecil risiko anak mengalami obesitas.
Penelitian juga dilakukan di Brazil, Amerika Latin pada tahun 2000 yang bertujuan mencari hubungan antara lamanya pemberian ASI dengan obesitas menggunakan disain kohort. Parameter obesitas yang diukur antara lain indeks massa tubuh (IMT) dan persentase massa lemak tubuh. Lebih dari 3000 anak terlibat dalam penelitian ini yang diikuti sampai usia 18 tahun. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pada anak yang diberikan ASI eksklusif atau sebagian besar diberikan ASI dapat mencegah obesitas pada masa remaja. Penelitian lain untuk mencari hubungan lama pemberian ASI dengan risiko obesitas di Brazil dilakukan oleh de Sequiera dan Monteiro terhadap anak sekolah usia 6-14 tahun yang mempunyai orangtua dengan status sosial ekonomi tinggi. Parameter obesitas yang diukur adalah IMT dan tebal lipatan kulit yang selanjutnya dihubungkan dengan lama pemberian ASI.
Sementara itu penelitian di Belarusia pada tahun 2009 melibatkan lebih dari 17 ribu anak yang dipantau sampai usia 61/2 tahun dengan disain penelitian kontrol acak menunjukkan hasil berbeda dengan penelitian lain. Peneliti berkesimpulan pemberian ASI eksklusif atau ASI dalam jangka waktu lama tidak berhubungan dengan kejadian obesitas pada usia selanjutnya. Kelompok peneliti ini juga mengemukakan terdapatnya hubungan antara pemberian ASI dengan menurunnya kejadian obesitas yang ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya sangat mungkin karena adanya faktor perancu. Peneliti menyarankan untuk dilakukan penelitian dengan disain longitudinal dan pengendalian terhadap faktor perancu, hal ini disebabkan karena angka kejadian obesitas anak di Belarusia tidak tinggi.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) sendiri mengeluarkan pernyataan tentang bukti ilmiah pengaruh jangka panjang ASI terhadap obesitas yang menyatakan terdapat bukti ilmiah bahwa ASI mempunyai efek proteksi terhadap terjadinya obesitas walaupun disebutkan efek yang terlihat tidak terlalu kuat. Selanjutnya WHO juga menyatakan efek ini tidak disebabkan karena adanya faktor perancu antara lain lama pemberian ASI, definisi ASI eksklusif, dan definisi obesitas.
Divisi Nutrisi, Aktifitas Fisik dan Obesitas, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion (CDC) di Amerika melakukan penelitian untuk menguji hipotesis apakah bayi yang diberikan ASI eksklusif tidak akan mempunyai kelebihan berat badan setelah usia 6 bulan dan juga menguji bayi yang menghabiskan susu formula serta ibu yang selalu berusaha menghabiskan susu formula yang diberikan kepada bayinya yang berusia 6 bulan ke bawah akan mengalami kelebihan berat badan setelah usia 6 bulan. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioener terhadap lebih kurang 2000 ibu yang mempunyai bayi dengan berat lahir minimal 1750 gram dan usia kehamilan 35 minggu ke atas. Hasil penelitian ini menunjukkan bayi yang mendapat ASI sebelum usia 6 bulan mempunyai risiko rendah untuk mengalami kelebihan berat badan, sedangkan sebaliknya bayi yang mengonsumsi susu botol berisiko tinggi kelebihan berat badan. Peneliti juga berkesimpulan konsumsi susu botol terlebih bila sering dihabiskan merupakan faktor risiko independen terhadap berkembangnya obesitas anak.
Penelitian lain yang dilakukan di Amerika Serikat untuk mengetahui hubungan antara lama pemberian ASI dengan risiko obesitas pada anak dengan menggunakan data survei nasional tahun 1988-1994 terhadap 3461 anak usia 2-71 bulan, namun demikian analisis hanya dilakukan pada kelompok usia 3-5 tahun. Disain yang digunakan adalah seksi silang survei kesehatan nasional. Setelah faktor perancu dikendalikan, maka peneliti mengambil kesimpulan terdapat hubungan yang tidak konsisten antara pemberian ASI dan lamanya. Walapun pemberian ASI harus tetap dilakukan, namun efektivitas pemberian ASI dalam pencegahan obesitas tidak sama dengan faktor diet dan aktifitas fisik.
Penelitian systematic review dilakukan oleh Owen dkk. dari Amerika yang mengulas sebanyak 61 kepustakaan dengan melibatkan hampir 300 ribu subjek. Tujuan penelitian ini untuk melihat hubungan antara pemberian makan bayi dengan risiko obesitas pada masa selanjutnya. Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian ASI merupakan faktor protektif untuk terjadinya obesitas pada usia selanjutnya, namun demikian peneliti memperingatkan kemungkinan adanya faktor perancu yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Penelitian seksi silang dilakukan di Inggris untuk melihat hubungan antara pemberian ASI dengan timbulnya obesitas pada anak. Sebanyak 2600 lebih anak yang berasal dari 1768 keluarga dilibatkan dalam penelitian ini dengan usia anak antara 4-18 tahun. Peneliti mengambil kesimpulan efek menguntungkan ASI tidak terlihat untuk mengurangi kejadian obesitas, namun demikian karena banyak manfaat menguntungkan lain dari ASI yang sudah diketahui, maka promosi pemberian ASI harus tetap dilakukan.
Mekanisme ASI mengurangi risiko/kejadian obesitas
Melihat penelitian-penelitian di atas maka tampak mekanisme bagaimana ASI dapat mencegah risiko atau terjadinya obesitas masih belum jelas benar, tetapi beberapa hal di bawah ini diduga sebagai mekanisme dasar yaitu:
- Bayi yang mengonsumsi ASI dapat mengatur asupan kalori sesuai kebutuhan dan ibu bayi juga percaya bila bayinya berhenti minum artinya kebutuhan nutrisi sudah terpenuhi. Sedangkan ibu yang bayinya mendapat susu botol umumnya kurang yakin apakah bila botol susu bayi kosong, bayi telah mendapat cukup asupan nutrisinya.
- Bayi yang mendapat ASI lebih mudah menerima makanan padat pada saat
penyapihan dibandingkan bayi yang mendapatsusu formula. Daya terima
terhadap makanan baru bayi yangmendapat ASI juga lebih baik, hal ini
disebabkan bayi yang
mendapat ASI telah mengenal rasa berbagai macam makananmelalui makanan yang dikonsumsi ibunya sejak bayi dalamkandungan. - Dibandingkan susu formula, ASI mempunyai efek yang lebih baik terhadap metabolisme tubuh bayi dan metabolisme hormon seperti misalnya insulin dan leptin dalam kaitan pengaturan dan deposit lemak tubuh. Hal ini yang menyebabkan bayi yang mendapat ASI cenderung tidak obes dibandingkan yang mendapat susu formula.
Angka kejadian obesitas pada anak yang menunjukkan kecenderungan meningkat memerlukan upaya pencegahan. Pemberian ASI eksklusif telah banyak diteliti sebagai salah satu cara untuk mencegah risiko dan kejadian obesitas pada anak. Penelitian yang mencari hubungan antara pemberian ASI dan pencegahan obesitas menunjukkan hasil tidak konsisten. Beberapa faktor perancu diduga menjadi penyebab antara lain desain penelitian yang tidak ideal, definisi dan parameter obesitas yang digunakan serta definisi ASI eksklusif yang berbeda-beda. Walaupun demikian karena manfaat ASI bukan saja untuk pencegahan obesitas maka semua pihak harus terus menerus mendukung pemberian ASI.