Imunisasi merupakan upaya pencegahan yang amat bermanfaat untuk mencegah penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Tujuan imunisasi adalah untuk melindungi anak atau individu dari penyakit tertentu, menurunkan angka kejadian penyakit dan pada akhirnya mengeradikasi suatu penyakit. Cacar (variola, smallpox) adalah suatu penyakit yang fatal pada abad ke 19. Berkat program imunisasi yang terus menerus, penyakit ini dapat dieradikasi dan dunia dinyatakan bebas cacar pada tahun 1979.
Imunisasi merupakan suatu teknologi yang sangat berhasil di dunia kedokteran yang oleh Katz (1999) dikatakan sebagai ”sumbangan ilmu pengetahuan yang terbaik yang pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini”. Imunisasi merupakan satu upaya kesehatan yang paling efektif dan efisien dibanding dengan upaya kesehatan lainnya.
Dalam masyarakat, baik di Indonesia maupun di luar negeri, sering kali terdengar pendapat atau persepsi yang keliru tentang imunisasi, diantaranya adalah :
1. Penyakit telah menghilang sebelum vaksin diperkenalkan, akibat perbaikan sanitasi dan higiene. Dengan demikian, tidak perlu imunisasi.
Pengamatan difteria di Eropa setelah perang dunia ke II menunjukkan penurunan angka kejadian penyakit, sejalan dengan perbaikan sanitasi dan higiene. Namun penurunan penyakit difteria yang permanen baru tampak setelah program imunisasi dijalankan secara luas. Kondisi sosial ekonomi yang membaik mempunyai dampak positif bagi penyakit. Nutrisi yang cukup, penemuan antibiotik, telah meningkatkan angka harapan hidup bagi pasien. Kepadatan penduduk yang berkurang, telah menurunkan penularan penyakit. Angka kelahiran yang menurun juga telah menurunkan jumlah anak yang rentan dan menurunkan penularan dalam dan antar keluarga. Pengamatan angka kejadian penyakit jangka panjang dapat menerangkan dampak imunisasi dalam menurunkan penyakit.
Pengalaman negara maju, seperti Inggris, Swedia dan Jepang, menunjukkan bahwa penghentian program imunisasi pertusis (batuk rejan, batuk 100 hari) karena kekhawatiran terhadap efek samping vaksin, menimbulkan dampak peningkatan penyakit pertusis. Di Inggris, penurunan imunisasi pertusis pada tahun 1974 diikuti oleh epidemi pertusis dengan lebih dari 100.000 kasus dan 36 meninggal pada tahun 1978. Di Jepang pada kurun waktu yang hampir sama, terjadi penurunan cakupan imunisasi pertusis dari 70% menjadi 20%-40%. Hal itu diikuti dengan peningkatan kasus pertusis dari 393 dan tanpa kematian pada tahun 1974 menjadi 13.000 kasus pertusis dan 41 meninggal pada tahun 1979. Di Swedia, angka kejadian pertusis per 100.000 anak umur 0-6 tahun meningkat dari 700 kasus pada tahun 1981 menjadi 3.200 pada tahun 1985.
Untuk penyakit difteria, dapat dikaji data propinsi Ontario, Kanada yang mempunyai data morbiditas, mortalitas dan case fatality rate untuk kurun waktu 1880-1940. Sebelum ditemukan antitoksin difteria, mortalitas difteria melampaui 50 per 100.000 populasi pada masa tersebut. Mortalitas menurun menjadi sekitar 15 per 100.000 pada Perang Dunia I, meski pun angka morbiditas tidak menurun. Setelah penggunaan toksoid difteri secara luas pada akhir tahun 1920, penyakit difteria menurun drastis.
Dari pengalaman tersebut jelas bahwa dampak imunisasi lebih besar daripada perbaikan sanitasi. Penghentian imunisasi akan meningkatkan kembali angka kejadian penyakit. Dengan demikian imunisasi amat penting dan berguna untuk mencegah penyakit.