Menyusui pada ibu pengidap HIV merupakan masalah penting dan selalu 
menjadi perdebatan. Hal ini dikarenakan efek ganda dari pemberian ASI, 
yaitu sebagai sumber nutrisi utama pada bayi dalam 6 bulan pertama 
kehidupannya; di sisi lain juga sarana penularan HIV. Sejak ilmu 
pengetahuan mampu membuktikan bahwa salah satu tahap penularan vertikal 
HIV pada anak adalah melalui air susu ibu, berbagai langkah pencegahan 
kemudian diteliti dan dibakukan agar bayi yang lahir dari ibu HIV ini 
mendapatkan yang terbaik.
Selama 16 tahun terakhir para ahli di dunia telah membuat berbagai 
kesepakatan penting mengenai rekomendasi pemberian makan pada bayi yang 
terpapar infeksi HIV dari ibunya. Awalnya dengan berusaha meniadakan 
paparan melalui laktasi yang dilakukan di negara maju. Beberapa tahun 
kemudian pemberian ASI diijinkan asal dalam waktu yang singkat dan 
dengan penghentian cepat. Rekomendasi terakhir adalah mengijinkan 
pemberian ASI asalkan diberikan secara eksklusif selama 6 bulan pertama 
dan boleh dilanjutkan hingga usia anak 2 tahun.
Panduan nasional maupun rekomendasi internasional dibuat umum, 
karenanya tidak serta merta tepat atau relevan dengan situasi yang 
dihadapi suatu masyarakat, kecuali bila sudah diadaptasikan menurut  
konteks budaya dan sosial dimana perempuan dapat mengambil keputusan 
sendiri dalam hal pengasuhan anaknya. Untuk mengetahui permasalahan 
kontroversi dalam pemberian ASI pada bayi yang lahir dari ibu HIV akan 
dibahas mengenai risiko dalam ASI, berbagai data penelitian penting dan 
simulasi penghitungan untung-rugi pemilihan laktasi atau tidak.
Siklus hidup virus HIV
Virus HIV adalah virus dengan inti terdiri dari 2 lembaran RNA(ribonucleic acid)
 dan terbungkus kapsul inti dan kapsul luar. Virus ini memerlukan sel 
host (inang) untuk hidup dan berkembang biak. Asal-usul virus ini belum 
diketahui pasti; beberapa hipotesis yang mendekati kenyataan pembuktian 
genetik adalah hasil mutasi virus serupa yang menginfeksi kera Macaque 
dan diduga sudah ada sejak 70 tahun yang lalu. Perkembangan penyakit 
infeksi HIV sendiri baru jelas pada tahun 1980-an.
Bila virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia, maka ia akan berusaha 
menempel pada sel dan masuk ke dalamnya. Sel yang dipilih virus ini 
terutama adalah sel limfosit CD4, yaitu salah satu subtipe sel limfosit 
dalam tubuh kita yang bertugas mengatur respon imun tubuh terhadap 
berbagai serangan infeksi dari luar. Selain sel terpilih tersebut, sel 
lain yang juga diserang adalah makrofag, sel dendrit-keduanya dari 
golongan sel yang sama yang bertugas sebagai pembersih dan pemakan semua
 bahan asing atau sel mati dalam tubuh- sel lemak, dan sel glia di otak.
Setelah berhasil menempel, dengan senjatanya virus ini akan 
menyatukan kapsul luarnya dengan dinding sel host/inang dan intinya 
masuk ke dalam badan sel inangnya. Sebenarnya dengan karakteristik RNA, 
virus HIV harusnya hanya berhenti di sitoplasma (cairan tubuh sel). 
Tetapi dengan kepiawaian senjata enzim yang dimilikinya, rangkaian RNA 
tersebut kemudian diubah menjadi rangkaian DNA (deoxyribonucleic acid) 
serupa dengan rangkaian genetik inti sel inang. Setelah menjadi 
rangkaian DNA, materi virus ini (proviral DNA) kemudian masuk ke inti 
sel inang, memotong rangkaian DNA sel inang dan menyisipkan diri di 
antaranya seolah-olah DNA virus ini adalah bagian dari DNA sel inang 
yang utuh. Bila inti sel inang ini membelah dan mempersiapkan diri untuk
 membuat cloning sel baru, maka secara
 langsung virus HIV ikut 
membelah. Dalam proses pembelahan inti tersebut kemudian diproduksi 
cetakan perintah genetik dalam bentuk lembaran RNA yang dikeluarkan ke 
sitoplasma kembali. Cetakan ini kemudian dengan aktif mengumpulkan 
materi protein dari sitoplasma untuk membuat cloning sel baru dan virus 
baru. Apabila lembaran inti virus HIV baru sudah lengkap terbentuk, maka
 lembaran ini akan berusaha keluar dari badan sel inang yang sudah 
didudukinya sehingga sel inang menjadi rusak.
Perjalanan penyakit penderita infeksi HIV
Baik pada orang dewasa dengan sistim imun yang sudah mapan maupun 
pada anak, infeksi HIV menyebabkan sel sasarannya (limfosit CD4) rusak 
sehingga pada saat jumlahnya sedemikian rendah maka sistim imun tubuh 
menjadi tidak dapat berfungsi untuk menghalau infeksi yang ringan 
sekalipun. Tidak mengherankan bila pada penderita infeksi HIV, infeksi 
jamur Candida yang biasanya terjadi lokal dapat menyebabkan sakit berat.
 Untuk memudahkan, dibuat peringkat berdasarkan gejala klinisnya yang 
dikenal dengan stadium I yang ringan dan hampir tanpa gejala; stadium II
 yang umumnya muncul dalam bentuk gangguan di kulit; stadium III dengan 
aneka infeksi oportunistik dan akhirnya stadium IV yang kita kenal 
sebagai AIDS.
Pengklasifikasian juga dapat dilakukan berdasarkan jumlah sel 
limfosit CD4. Kalau masih segar bugar, umumnya jumlah atau proporsi 
limfosit CD4 masih normal, makin berat stadium klinisnya maka makin 
menurun jumlah sel limfosit CD4. Pada kasus dewasa maupun anak yang 
tercatat di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, umumnya sudah berada dalam 
stadium klinis III atau IV dan dengan jumlah atau proporsi sel limfosit 
CD4 sangat rendah.
Penularan HIV dari ibu ke anak
Sebanyak 90% penularan pada anak berumur < 13 tahun terjadi pada 
saat perinatal, artinya terjadi selama dalam kandungan, selama proses 
kelahiran dan sesudah kelahiran. Pembuktian menunjukkan penularan dapat 
terjadi melalui plasenta, meskipun plasenta tidak dapat ditembus oleh 
sel-sel ibu yang terinfeksi HIV, akan tetapi virus HIV yang bebas masih 
dapat menembus pertahanan plasenta. Proses kelahiran merupakan porsi 
terbesar terjadinya penularan karena selama proses tersebut ada 
kemungkinan bayi menelan cairan yang terdapat di jalan lahir; perlukaan 
akibat gesekan sehingga memungkinkan terdapatnya luka terbuka di kulit 
kepala bayi dan meningkatkan risiko bersinggungan dengan cairan tubuh 
ibu. Sedangkan penularan pasca lahir yang paling mungkin adalah melalui 
pemberian ASI mengingat di ASI dapat ditemukan virus bebas, atau sel 
limfosit CD4 yang sudah terinfeksi oleh virus HIV.
Bila tidak dilakukan upaya pencegahan apapun, besarnya risiko 
penularan dari ibu ke bayi sebesar 40%. Bila tidak dilakukan sesuatu 
maka dalam waktu singkat akan terdapat banyak anak hidup yang tertular 
HIV dan akan menyebabkan beban kesehatan yang nyata di seluruh dunia. 
Oleh karena itu dilakukan berbagai cara untuk  mengurangi besarnya 
transmisi perinatal ini dan WHO menjadikannya sebagai unsur dasar 
gerakan mengontrol penyebaran infeksi HIV di dunia.
Sejak tahun 1996 ketika program pencegahan lengkap mulai 
dipublikasikan, angka transmisi ini dapat diturunkan lebih dari 50%nya. 
Yang dikatakan pencegahan penularan lengkap adalah mengobati ibu saat 
kehamilan dengan pemberian anti retroviral (ARV), menghindari jalan 
lahir normal dengan melakukan operasi Caesar elektif dan tidak 
memberikan ASI. Gerakan pencegahan ini kemudian dilakukan di seluruh 
dunia.
Akan tetapi langkah lengkap ini tidak mudah diterjemahkan dan 
diterapkan pada berbagai kondisi sosial masyarakat. Di Afrika sudah 
sejak awal tidak lengkap karena bedah Caesar adalah kemewahan, meskipun 
pemberian ARV saja yang sangat sederhana terbukti mampu menurunkan angka
 penularan HIV. Namun demikian memilih cara pemberian nutrisi pada bayi 
tidak sesederhana yang diperkirakan. Oleh karena itu sekitar tahun 2000 
WHO bersamasama UNICEF membuat panduan untuk pemberian laktasi yang 
meliputi ASI eksklusif selama beberapa bulan pertama, dan pindah ke 
penggantinya bila sudah memungkinkan dalam waktu yang singkat pula.
Kemudian muncul banyak laporan, juga dari Afrika, yang menyatakan 
bahwa bayi yang mendapat ASI dalam waktu lebih singkat lebih mudah sakit
 dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI lebih lama meskipun risiko 
tertular HIVnya lebih tinggi. Penyetopan ASI dalam waktu 1 – 3 hari juga
 menyebabkan timbul beberapa masalah baik pada ibu maupun pada bayi.
Setelah panduan pencegahan dan pemberian ASI dengan cara di atas 
memiliki banyak efek buruk untuk populasi Afrika, dibuat rekomendasi 
baru pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa ibu-ibu yang mengikuti 
program pencegahan penularan HIV diperbolehkan memberikan ASI kepada 
bayi yang dilahirkannya dengan cara pemberiannya secara eksklusif dan 
dilindungi dengan pemberian ARV selama jangka waktu menyusui.
Dampak dari rekomendasi ini tidak ada untuk masyarakat yang memilih 
untuk memberikan susu formula sebagai bagian program pencegahan 
transmisi HIV. Untuk masyarakat yang tidak dapat memilih pemberian susu 
formula maka kehadiran rekomendasi ini berdampak pada lama pemberian 
ARV, penyediaannya dan konsekuensi terhadap program perawatan, 
pengobatan dan dukungan terhadap orang dengan HIV secara global.
Negara maju menelaah rekomendasi ini dan dampaknya terhadap praktik 
pencegahan transmisi HIV dari ibu ke anak yang selama ini mereka 
lakukan. Untuk Inggris, pada pertemuan terakhir bulan April
 2010, 
BHIVA (British HIV Association) sedang membuat panduan seandainya ada 
ibu HIV positif yang berencana memberi ASI pada bayinya. Masalah penting
 yang harus diawasi untuk keselamatan bayinya adalah dengan melakukan 
pemberian ARV pada ibu selama periode menyusui, pengawasan lebih ketat 
untuk pemberian ASI eksklusif dan efek samping obat dan diusahakan 
sesingkat mungkin
 serta pemeriksaan kadar virus setiap bulan. Oleh 
karena itu syarat tambahan untuk ibu yang diijinkan memberikan ASI 
adalah kepatuhan mengikuti program yang diberikan oleh dokter.
Cara apapun yang dipilih selalu ada konsekuensinya. Memberi ASI 
artinya tetap memaparkan bayi pada kemungkinan tertular infeksi HIV. 
Tidak memberi ASI menyebabkan tujuan menurunkan angka mortalitas tidak 
tercapai karena anak-anak yang lahir dari program pencegahan justru 
meninggal karena berbagai sebab akibat tidak memperoleh ASI.
Kandungan ASI dalam konteks penularan HIV
Air susu ibu mengandung partikel nutrisi dan vitamin, sel-sel utuh, 
bakteri komensal, antibodi, komplemen, komponen kimiawi yang berperan 
dalam komunikasi antar sel, dan kuman penyakit dalam
 bentuk bakteri 
atau virus. Sel yang berada dalam ASI memiliki konsentrasi 10.000 – 
1.000.000 sel/mL, yang meliputi sel epitel saluran ASI, makrofag dan 
limfosit. Makrofag adalah sel dalam tubuh manusia yang berperan dalam 
memakan sel lain yang tidak berfungsi, kuman, dan segala sesuatu yang 
dianggap akan membahayakan tubuh manusia. Sedangkan sel limfosit adalah 
salah satu jenis sel leukosit yang berperan sebagai konduktor respon 
imun tubuh terhadap benda asing atau dianggap asing.
Meskipun belum terbukti bahwa ASI yang ditanam di media tertentu 
mampu memproduksi koloni virus HIV, akan tetapi DNA proviral pada ASI 
dapat dideteksi dengan pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction).
 Prevalens terdeteksinya partikel DNA HIV pada ASI dari kelompok ibu 
hamil pengidap HIV dalam 4 penelitian di Afrika berkisar antara 44 – 
58%. Pada penelitian lain di Kenya sel yang terinfeksi HIV memiliki 
kisaran 1/10.000 – 1/3 sel. Mereka yang kadar sel terinfeksi HIV pada 
ASI sangat tinggi adalah ibu-ibu yang sudah pada tahap stadium klinis 
HIV lanjut (ditandai dengan kadar sel CD4 sangat rendah) dan defisiensi 
vitamin A.
Data mengenai penggunaan susu formula dan ASI
Angka kematian bayi dan balita
Pengaruh pemilihan pemberian makan pada bayi yang lahir dari ibu HIV 
positif terhadap angka kematian bayi dan balita tidak berbeda. Tanpa 
melihat berapa banyak yang akhirnya tertular HIV, maka angka kematian 
pada saat seharusnya anak-anak ini berumur 2 tahun cukup tinggi. Pada 5 
penelitian besar di Afrika yang membandingkan pemberian susu formula dan
 ASI pada ibu HIV positif tidak menunjukkan keunggulan susu formula dari
 ASI dalam mengukur berapa persen yang tetap hidup sampai usia 2 tahun. 
Umumnya lama pemberian ASI pada populasi di atas adalah 4 – 6 bulan, 
disertai pemberian ARV baik pada ibu dan atau pada bayinya. Untuk 
menunjang pemberian susu formula selain diberikan susu formula juga 
diberikan akses ke air bersih. Yang ditengarai menyebabkan tingginya 
kematian adalah budaya mixed feeding, baik pada kelompok formula maupun 
ASI.
Laktasi dan perburukan gejala klinis ibu
Penelitian yang dilakukan Otieno mencari apakah proses laktasi 
menyebabkan memburuknya kesehatan ibu menyusui. Dalam kesimpulannya 
disebutkan bahwa selama menyusui memang indeks masa tubuh dan kadar sel 
limfosit CD4 menurun dengan cepat, tetapi konsentrasi virus di darah dan
 kematian tidak meningkat gara-gara ibu menyusukan anaknya. Pada saat 
yang sama peneliti lain di Kenya justru melaporkan bahwa kematian pada 
ibu HIV yang menyusui bayinya terjadi lebih banyak dibandingkan dengan 
ibu yang tidak menyusui.
ASI lebih superior dibandingkan susu formula untuk negara berkembang
Dalam kaitannya dengan pandemi HIV di seluruh dunia, pendekatan 
negara maju yang menghilangkan sama sekali paparan melalui ASI ternyata 
tidak dapat diterapkan di negara berkembang dan miskin karena 
peningkatan angka kematian yang berhubungan dengan pemberian susu 
formula yang tidak aman.
Penelitian MASHI di Botswana dan PEPI di Malawi menunjukkan bahwa 
kebijakan pemberian susu formula sebagai upaya pencegahan penularan HIV 
memang berefek menurunkan angka penularan vertikal akan tetapi di sisi 
lain menyebabkan angka kematian bayi lebih tinggi karena tidak disertai 
dukungan kebijakan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar akan air 
bersih. Demikian pula halnya bila ASI  diberikan dalam waktu yang pendek
 (KiBS di Kenya, BAN di Malawi dan HIVIGLOB di Uganda).
Membuat Laktasi Aman
Untuk situasi daerah di negara Indonesia yang akan menghadapi 
kesulitan untuk menghilangkan paparan HIV lewat ASI maka pendekatan 
seperti negara-negara Afrika di atas dapat dilakukan.
 Seandainya 
memang dipilih untuk memberikan ASI, maka diperlukan langkah-langkah 
untuk membuat laktasi cukup aman meskipun tetap memiliki risiko 
menularkan/penularan HIV.
ASI Eksklusif
ASI eksklusif artinya pada periode tersebut hanya ASI yang diberikan 
pada bayi, tidak termasuk air sekalipun, apalagi makanan padat. Di 
negara kita dan juga di banyak negara, mixed feeding ini menghambat 
pelaksanaan pemberian ASI eksklusif, baik pada situasi dengan bahaya HIV
 maupun tidak.
Penelitian pencegahan transmisi HIV yang pemberian ASI eksklusif 
dikontrol dengan ketat di Afrika Selatan, penularan HIV pada saat 
bayinya berumur 6 bulan hanya 4%. Begitu ibu-ibu ini tidak disiplin dan 
mixed feeding, maka risiko ini naik 10 kali lipat dengan pemberian 
makanan padat dan 1,8 kali bila dicampur susu formula. Pada penelitian 
lain diketahui bahwa risiko tertular HIV pada mixed
 feeding adalah 2-6 kali lipat dibandingkan dengan ASI eksklusif.
Untuk keberhasilan ASI eksklusif ini maka diperlukan perubahan 
perilaku pada ibu-ibu sejak sebelum melahirkan. Dengan intervensi 
perilaku, di penelitian tersebut didapatkan ASI eksklusif pada 82% 
peserta penelitian pada umur 6 minggu setelah lahir, 66% pada saat 3 
bulan dan 40% pada saat 6 bulan.
Penelitian Mashi melaporkan kepatuhan ibu terhadap penggunaan susu 
formula di populasinya mencapai 91% dibandingkan dengan kepatuhan 
pemberian ASI eksklusif yang hanya 18%. Studi lain di Zambia  
menunjukkan bahwa ibu menyusui dengan mudah pindah ke mixed feeding pada
 saat usia bayi dini. Penelitian di Cote d’Ivoire menunjukkan bahwa 69% 
ibu penderita HIV yang memilih memberikan susu formula pada bayinya 
didapatkan masih memberikan susu saja pada umur bayi 3 bulan.
Kepatuhan ibu-ibu ini sebagai unsur penting dalam penelitian belum 
tentu dengan mudah diaplikasikan pada masyarakat di luar penelitian. 
Dilaporkan tingkat kepatuhan pada petunjuk dari tenaga kesehatan hanya 
30% saja.
Pemberian ARV
Penelitian di Mozambique menunjukkan penurunan transmisi HIV bila ibu
 menyusui minum ARV selama menyusui sebagai kelanjutan ARV selama masa 
kehamilan. Pada penelitian AMATA di Rwanda ARV diberikan sejak trimester
 kedua kehamilan dan diteruskan hingga sebulan pasca menyusui. Pada 
kelompok ibu menyusui maupun tidak, tidak ditemukan penularan, tidak ada
 perbedaan gangguan perkembangan maupun angka kesakitan dan kematian. 
Pada penelitian MITRAPLUS ibu-ibu menyusui diberikan ARV selama 6 bulan,
 angka penularannya menurun hingga 0,9%.
Memanaskan ASI
Cara untuk tetap memberikan ASI adalah dengan memerah dan kemudian 
melakukan pemanasan dengan harapan virus HIV mati. Cara yang dipublikasi
 sebelumnya adalah dengan memanaskan ASI secara langsung (merusak banyak
 komponen nutrisi dan imunologis) dan cara Pasteurisasi Holder (suhu 
62.5 0Celcius selama 30 menit) adalah tidak mudah dan murah 
karena meskipun secara ilmiah fungsi imunologis ASI dapat dipertahankan,
 tetapi bahan ASI dapat habis karena waktu pemanasan yang lama dan rumah
 tangga harus memiliki termometer masak yang khusus.
Cara lain yang dianggap lebih mudah dikerjakan adalah dengan metode 
flash-heating, yaitu dengan cara menaruh ASI dalam tempat kemudian 
ditaruh di panci kecil berisi air kemudian dipanaskan.
 Setelah 
mendidih segera diangkat dan dibiarkan dingin sampai suhu badan manusia.
 Cara ini tidak mengganggu kadar vitamin A, meskipun menurunkan kadar 
vitamin B2 dan B6.
Laktasi pada bayi yang terinfeksi HIV
Terdapat 4 penelitian yang menunjukkan bahwa keuntungan pemberian ASI
 pada anak secara umum juga ditemukan pada anak yang terinfeksi HIV. Di 
ZEBS (Zambia), angka kematian penderita
 HIV pada umur 12 bulan lebih
 banyak pada anak yang hanya mendapat ASI selama 4 bulan dibandingkan 
dengan anak yang setelah diketahui sakit, ASI tetap diteruskan. DI 
Afrika Selatan bayi yang  tertular HIV yang mendapat ASI lebih jarang 
sakit dibandingkan bayi sakit yang tidak mendapat ASI. Efeknya lebih 
nyata pada 2 bulan pertama kehidupannya. Pada penelitian Malawi, anak 
terinfeksi HIV yang mendapat ASI jarang sakit. Penelitian MASHI di 
Botswana menunjukkan angka kematian yang lebih tinggi pada mereka yang 
tidak disusui. Oleh karena itu WHO mengubah rekomendasinya, bila seorang
 anak sudah diketahui terinfeksi HIV dan masih disusui sebaiknya 
diteruskan saja hingga paling tidak 2 tahun.
Kesimpulan
Pemberian ASI pada situasi ibu mengidap infeksi HIV memerlukan 
pertimbangan atas keuntungan dan kerugiannya. Meskipun memberi ASI 
artinya menambah risiko bayi tertular HIV, tetapi untuk negara 
berkembang dengan sumber daya penyediaan susu formula terbatas, 
peningkatan risiko tersebut dikompensasi dengan berkurangnya risiko 
kematian akibat penggunaan susu formula yang tidak aman.
![[edit lirik]](http://1.bp.blogspot.com/-4396t5rHYxU/UWjsy4N84zI/AAAAAAAAAm4/9anCqNYkxzA/s1600/editxl.png)